Salahuddin Al Ayyubi Secara Resmi Mendirikan Daulah Ayyubiyah Tahun

Salahuddin Al Ayyubi Secara Resmi Mendirikan Daulah Ayyubiyah Tahun

Keluarga dan Pendidikan Shalahuddin Al Ayyubi

Shalahuddin Al Ayyubi berasal dari keturunan suku Kurdi wilayah Irak Utara. Ayah dan ibunya berasal dari Duwain (Dvin) daerah di Azerbaijan. Ayahnya bernama Ayyub Najmuddin yang ketika itu menjabat sebagai pemimpin atau penguasa di benteng Tikrit, sebuah kota di tepian sungai Tigris, sekitar 140 KM di barat laut kota Baghdad[1].

Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki nama asli Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadzi yang bergelar Sultan al-Malik an-Nashir (Raja Sang Penakluk). Ia lahir pada tahun 1137 M di sebuah benteng Tikrtit, tempat ayahnya menjabat sebagai pemimpin wilayah Tikrit[2].

Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki garis keturunan dari seorang pemimpin besar dan suku yang terhormat, yaitu suku Rawadiyyah dari kawasan Hadzyaniyyah. Ayah Shalahuddin -Najmuddin Ayyub- memiliki adik laki-laki yang bernama Asaduddin Syirkuh. Keduanya merupakan petinggi Tikrit dan selanjutnya mereka berdua mengabdi kepada Sultan Saljuk Muhammad Malik Shah.

Kelahiran Shalahuddin yang diramal ayahnya merupakan kelahiran yang tidak menguntungkan bagi keluarganya ketika itu. Karena Kelahiranya bertepatan dengan pengusiran keluarganya dari Tikrit oleh Mujahidun Bahruz penguasa Baghdad. Hal itu merupakan akibat dari pembunuhan yang dilakukan Syirkuh – paman Shalahuddin- terhadap salah seorang panglima yang bertugas menjaga pintu benteng.

Pembunuhan tersebut karena dilatar belakangi oleh tindakan sang panglima yang telah melakukan tindakan asusila terhadap seorang wanita. Najmuddin Ayyub beserta keluarganya diberikan waktu 2 hari untuk segera meninggalkan benteng itu sebelum waktu petang. Namun, ketika petang tiba, justru istri Najmuddin Ayyub sedang mengalami proses melahirkan anaknya, yaitu Shalahuddin Al Ayyubi.

Shalahuddin kecilpun lahir dengan sempurna, namun ayahnya terkesan tidak menyukai kelahirannya. Hal itu karena proses kelahirannya bertepatan dengan hilangnya kekuasaan atas posisi dirinya sebagai pemimpin Tikrit. Ia tidak percaya atas keberuntungan yang akan didapatkan dari Shalahuddin kecil itu, di tengah situasi tersebut, salah seorang pengikutnya mengatakan kepada Najmuddin Ayyub ;

“Tuanku, saya dapat menangkap perasaan sial dan pesimis Tuan terhadap bayi ini.akan tetapi dosa apakah gerangan yang telah dilakukannya ? karena alasan apa ia pantas mendapatkan perlakuaan yang tidak mendatangkan manfaat dan tidak berguna sedikitpun bagi Tuan ? apa yang terjadi pada dirimu, memang sudah ketentuan dari Allah dan takdir-Nya. Lagi pula, siapa tau kelak bayi ini akan menjadi penguasa yang disegani dan mempunyai kedudukan terhormat. Semoga Allah menjadikan untuknya suatu kedudukan, maka biarkanlah dia hidup karena dia masih bayim yang tidak memiliki dosa dan tidak mengetahui kesusahan dan kegelisahan yang engkau alami.”[3]

Ayah Shalahuddin telah sadar jika kelahiran Shalahuddin itu tidak ada hubungannya dengan situasi yang dialami keluarganya pada waktu itu.

Pada saat proses persalinan telah selesai, keluarga Shalahuddin bergegas keluar dari benteng pada malam hari. Entah kemana mereka akan tinggal, karena sudah tidak ada lagi wilayah yang menjadi tempat persinggahan untuk keberlanjutan hidup mereka. Pada suatu ketika, keluarga Shalahuddin berada disekitar wilayah Mosul (Irak). Mereka berhenti, untuk beristirahat sejenak.

Dalam peristirahatannya, mereka bertemu dengan Imaduddin Zanki yang menjadi Sultan di wilayah Mosul. Keluarga Shalahuddin pun disambut baik oleh Imaduddin Zanki. Karena ia –Imaduddin Zanki- tidak melupakan kebaikan Najmuddin Ayyub terhadapnya, karena telah menolong Imaduddin Zanki dari kejaran para tentara Baghdad.

Akhirnya, keluarga Shalahuddin diizinkan untuk menetap dan tinggal di Mosul sampai Imaduddin Zanki memberikan jabatan kepada Ayah dan Paman Shalahuddin sebagai iqta’[4] (wilayah kepemimpinan administratif).

Keduanya pun bergabung sebagai Emir (komandan) di bawah kepemimpinan Zanki[5]. Pada akhirnya, keluarga Shalahuddin hidup bersama Imaduddin Zanki. Keduanya – Keluarga Zanki dan Shalahuddin- terlihat aktif bekerja sama dalam membangun dan mengurus pemerintahan Dinasti Zanki. Najmuddin Ayyub dan Syirkuh ikut telibat dalam beberapa penaklukkan wilayah yang telah dikuasai oleh Pasukan Salib.

Pada tahun 1139 M, kota Ba‟albek yang berada di wilayah Suriah ketika itu dipimpin oleh Atabek Mu‟inudin Unur yang berada dekat dengan Damaskus, telah berhasil dikuasai oleh Imaduddin Zanki.

Imaduddin Zanki kemudian menunjuk Najmuddin Ayyub sebagai Gubernur Ba‟albek, karena Imaduddin Zanki sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada Najmuddin Ayyub sebagai seorang pemimpin[6]. Peran yang diemban Najmuddin Ayyub merupakan peran yang sangat penting dalam karirnya. Adik Najumddin Ayyub -Asadudin Syirkuh- masih merintis karirnya bersama pasukan Zanki.

Sebagai bentuk tanda terimakasih Imaduddin Zanki atas sikap Najmuddin Ayyub yang telah menolongnya ketika dirinya berada dalam situasi ancaman dari militer Baghdad. Kehidupannya berubah dan telah mendapatkan apa yang tidak mereka duga sebelumnya. Namun, keluarga Shalahuddin tidak semenamena atas kekuasaannya.

Najmuddin Ayyub menjalankan amanat yang telah diberikan oleh Imaduddin Zanki atas dirinya sebagai pelayan Umat, yaitu menjadi seorang guberur di wilayah Ba‟albek. Apa yang sebelumnya terjadi ketika yang diharapkan oleh ayahnya telah pupus, karena telah mengalami nasib yang kurang baik bagi keluarganya saat keluar dari Tikrit, kini kebaikan berada dalam keluarga Shalahuddin setelah menetap di wilayah Mosul.

Ketika kebahagiaan telah didapatkan oleh keluarga Shalahuddin di Ba‟albek, adalah sebuah momentum yang paling baik bagi keberlangsungan hidup Shalahuddin. Sebagai putra kerajaan, Shalahuddin mendapatkan pendidikan yang baik yang ia peroleh selama di  Ba‟albek (Suriah). Saat Ayah Shalahuddin Al Ayyubi diberikan amanah berupa jabatan sebagai seorang gubernur, usia Shalahuddin baru sekitar dua sampai pada usia sembilan tahun[7]. Berbagai ilmu Agama Islam telah ia dapatkan pada saat itu. Hanya sembilan tahun Shalahuddin

Al Ayyubi menetap di Ba‟albek, kemudian mereka pindah ke Damaskus, atas permintaan yang dilancarkan oleh pihak Damaskus Mu‟inuddin Unur yang merupakan lawan dari Imaduddin Zanki. Pada akhirnya, pasca kematian

Imaduddin Zanki antara Mu‟inuddin Unur dan keluarga Zanki (Nuruddin Mahmud) menjalin kerja sama, untuk bersatu melawan invasi tentara Salib.

Selama menetap di Suriah maupun pada saat di Damaskus, Shalahuddin telah mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak seorang penguasa.

Shalahuddin menghabiskan masa kanak-kanaknya di Ba‟albak, ketika beranjak dewasa ia pindah ke Damaskus. Ia selalu mendatangi tempat-tempat belajar untuk belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur‟an, Fiqh dan Syair (Sastra), ditambah lagi belajar kaidah bahasa dan dasar-dasar nahwu dari para Ulama sebagaimana putra-putra Raja.[8]

Shalahuddin banyak menimba ilmu keagamaan dari berbagai Ulama-ulama ahli dalam bidangnya. Baghdad merupakan wilayah pemerintahan pusat dari Dinasti Abbasiyah. Sirkulasi ilmu pengetahuan bersumber di Baghdad pada saat itu dan menjadi pusat pendidikan.

Tidak mengherankan jika pada saat Shalahuddin tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemimpin, dia menggunakan segenap ilmu pengetahuannya untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan. Di samping menimba ilmu keagamaan, Shalahuddin juga banyak mendapatkan pengetahuan tentang peperangan.

Karena ia hidup di lingkungan yang berada di antara para tentara perang, sehingga ia pun ikut berlatih menunggang kuda, melempar tombak, berburu, dan latihan perang muncul begitu saja. Dari situlah Shalahuddin memiliki keahlian, kepandaian, dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, serta mampu belajar dan berlatih perang.[9] Sifat yang ia miliki sangat jarang ada dalam diri seorang lainnya.

Yang pasti, perkembangan keilmuan Shalahuddin miliki merupakan hasil dari pendidikan ayahnya yang ahli di bidang agama, keahlian berperang dalam diri Shalahuddin didapatkan dari pamannya yang merupakan seorang panglima militer. Itulah gambaran keluarga hingga pendidikan Shalahuddin Al Ayyubi yang menjadikan dirinya memiliki karakteristik sebagai seorang panglima perang yang cerdik, penunggang kuda yang terlatih, politikus andal dan seorang yang berilmu.

Keistimewaan Shalahuddin Al Ayyubi

Dalam diri setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada satupun manusia yang hanya memiliki kelebihannya saja tanpa ada kekurangannya. Semua sudah merupakan kodrat dari sang Pencipta. Tidak lepas dari seorang Shalahuddin Al Ayyubi pada saat dirinya menjadi seorang panglima perang, sampai akhirnya menjadi perdana menteri hingga menjadi raja di dalam kerajaannya.

Keistimewaan merupakan suatu kelebihan yang dimiliki oleh setiap diri seseorang. Dan dalam hal ini, akan memberikan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Shalahuddin Al Ayyubi disamping dirinya adalah seorang raja, akan tetapi dia juga sangat mencintai Ilmu Pengetahuan, Sastra, dan juga keistimewaan dari sifat pribadinya. Pribadi Shalahuddin Al Ayyubi menjadi istimewa dengan keseimbangan moral luar biasa yang membantunya dalam mewujudkan berbagai tujuan agung. Berikut akan dipaparkan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Shalahuddin Al Ayyubi :

Dari semuanya itu, merupakan keistimewaan dari sifat-sifat yang dimiliki sosok Shalahuddin Al Ayyubi yang mengharumkan namanya dan menjadikan musuh-musuhnya tidak meremehkan keberaniannya.

Latar Belakang Shalahuddin Al Ayyubi

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki kepribadian yang bijaksana dan tegas dalam setiap langkah kehidupannya. Sosok pemimpin atau raja yang sangat disegani oleh masyarakat, prajurit dan para panglima perang ketika Perang Salib berkecamuk. Keberhasilannya dalam memimpin negara dan memimpin perang telah mampu memberikan sumbangsih dalam khazanah dunia Islam Abad Pertengahan.

Namanya besar, harum dan telah dikenal dan dikenang di dalam catatan sejarah Islam maupun sejarah Kristen. Kebijaksanaannya sebagai seorang raja telah diakui oleh para sejarawan dalam kisahnya. Pencapaian agungnya ketika ia telah berhasil menguasai Baitul Maqdis dari tangan kaum Kristen Salib.

Segenap kekuatan dan keyakinannya telah mampu menjadikan dirinya seorang panglima dalam medan perang. Perlindungan dan keadilan serta kecintaannya kepada Agama Islam menjadikan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai sosok yang selalu mengedepankan kemaslahatan integritas agama dan masyarakatnya.

Shalahuddin Al Ayyubi mahir dalam ilmu dan strategi berperang. Ia sangat disegani oleh musuh yang dihadapinya. Bahkan ia sangat giat memerangi dan memberantas orang-orang yang memberontak dan yang tidak sepemahaman dengannya.

Sosok Shalahuddin Al Ayyubi tidak hanya dikenali oleh rakyat Mesir saja, di berbagai wilayah kekuasaannya ia sangat dikenali sebagai seorang pemimpin yang mampu menjadi panutan rakyat dan para prajuritnya. Hingga pada saat kematiannya, banyak sekali orang yang merasa sangat kehilangan akan sosoknya.

Untuk penjelasan mengenai Shalahuddin Al Ayyubi, penulis akan memaparkannya lebih lanjut mengenai masa hidupnya dari keluarganya hingga pendidikannya sampai ia menjadi sosok pemimpin Umat Islam yang agung.

Mengadakan Perjanjian Damai Kepada Pihak Musuh

Meski para pendahulu Salahuddin cenderung melakukan perlawanan secara fisik, Salahuddin justru mengambil kebijakan dengan mengadakan perjanjian damai bersyarat dengan pihak musuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari jatuhnya banyak korban dan kerugian yang lebih besar.

Demikian kisah teladan yang dicerminkan dari sikap Salahuddin Al-Ayyubi di dalam sejarah peradaban Islam. Kegemilangan perjuangan dari sosok Salahuddin dapat menjadi teladan kita semua.

Skripsi ini membahas Perang Salib yang merupakan serangkaian operasi militer yang dilancarkan oleh Kaum Kristen Eropa terhadap kaum Muslimin pada abad ke-11, dan berlangsung selama kurang lebih dua ratus tahun. Babak paling dahsyat dari seluruh rangkaian Perang Salib ini adalah Perang Salib III (1187- 1192 M.). Pada babak itu muncul seorang pemimpin dari kalangan Islam Sunni bernama Salahuddin al-Ayyubi. Dia berhasil memimpin pasukan Islam dengan gemilang dan merebut kembali Yerusalem dari tangan kaum Kristen Eropa. Faktor yang mendasari kesuksesannya adalah konsep jihad yang dijalankannya, yaitu dengan memadukan antara jihad individu dan jihad kolektif, serta upayanya memperbarui strategi jihad.

OLEH HASANUL RIZQA Kemenangan Muslimin dalam Perang Hattin pada Juli 1187 mengawali pembebasan Baitul Maqdis. Usai pertempuran tersebut, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menawan ratusan prajurit Salib. Pimpinan mereka, Raja Latin Yerusalem Guy Lusignan dan Pangeran Antiokhia Raynald Chatillon, juga ikut ditangkap. Ada sekitar 200 orang yang dieksekusi. Termasuk di antaranya adalah para...

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) mulai memerintah Bani Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.

Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.

Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.

Sayangnya, pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham ini mendapat tempat dan berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat.

Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.

Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.

Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.

Namun demikian, selain pemikiran Muktazilah, Khalifah Al-Makmun juga tercemari oleh paham yang menganggap Al-Qur'an itu makhluk. Paham ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.

Namun belakangan Imam Sajjadat dan Al-Qawariri mengakui juga Al-Qur'an sebagai makhluk. Ketika ditelusuri, keduanya mengaku karena terpaksa. Mereka berpendapat, dalam agama, kondisi terpaksa membolehkan seseorang untuk mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keimanannya.

Kendati demikian, Imam Ahmad dan Muhammad Nuh tetap tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Sejarah mencatat ungkapan Imam Ahmad kala itu, "Saya tidak mau pengakuan saya menjadi dalil orang-orang setelahku." Ia juga pernah diminta oleh pamannya, Ishaq bin Hanbal untuk melakukan taqiyyah (pura-pura), namun Imam Ahmad tidak mau.

Kedua tokoh itu segera dikirim kepada Khalifah Al-Makmun yang sedang berada di medan pertempuran di Asia Kecil. Dalam perjalanan dan ketika tiba di benteng Rakka, mereka mendapat kabar bahwa sang Khalifah wafat. Jenazahnya dibawa ke Tarsus dan dimakamkan di tempat itu.

Gubernur benteng Rakka segera mengembalikan Imam Ahmad dan Muhammad Nuh ke Baghdad. Dalam perjalanan, Muhammad Nuh sakit lalu meninggal dunia. Sedangkan Imam Ahmad dibawa ke Baghdad.

sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Pencapaian Karir Shalahuddin Al Ayyubi

Shalahuddin Al Ayyubi adalah pahlawan Islam yang pemberani dan seorang tokoh yang senantiasa menepati janji-janjinya. Inilah Islam yang meberikan keamanan kepada semua manusia dan memperlakukan mereka dengan baik. Musuh-musuh Shalahuddin mengakui sifat-sifatnya yang berjiwa ksatria, berakhlak mulia, memuliakan tamu, tidak khianat, memberi maaf kepada yang berbuat salah, dan memberikan pasukan Salib pelajaran yang tidak bisa mereka lupakan. Berawal dari kejadian itu, banyak dari para tawanan pasukan Salib yang akhirnya masuk Islam. Mereka sadar, bahwa agama yang dianut Shalahuddin adalah agama yang benar dan penuh damai[24].

Shalahuddin Al Ayyubi bukanlah orang yang senang mengajak berperang, ia adalah seorang penjaga kebebasan. Penjaga dan pembela Negara Islam dari musuhnya, yaitu pasukan Salib. Ia menjadi pahlawan Islam karena pasukan Salib telah menjajah negara Islam dengan kekuatan dan paksaan, preampasan semena-mena, juga membunuh orang yang tidak berdosa. Shalahuddin telah mengambil pelajaran hidupnya dari Nabi Muhammad saw.

Dalam sebuah pertempuran yang sangat besar, Shalahuddin selalu menyempatkan dirinya untuk melaksanakan shalat fardhu maupun sholat sunnah bersama para pasukannya. Suatu ketika pada saat Shalahuddin dan pasukannya berhasil memenangkan sebuah pertempuran menghadapi pasukan Salib menuju pembebasan Baitul Maqdis (Yerusalem) yang bertepatan dengan hari Jum‟at, semua pasukan melaksanakan Shalat Jum‟at. Karena ketakwaannya kepada Allah swt, perjuangannya dimudahkan oleh-Nya hingga dikuasainya Baitul Maqdis oleh Shalahuddin Al Ayyubi.

Babak pertama pencapaian Shalahuddin menuju ketenarannya, seperti telah disebutkan, terjadi ketika Nuruddin berkuasa, saat Shalahuddin harus menjalani perjuangan sulit untuk mendapatkan kekuasaan di Mesir sebagai pembantu Nuruddin yang menjadi pengawal pamannya. Perjuangannya yang sangat besar Setelah wafatnya Nuruddin, pemerintahan Umat Islam berada dalam genggamannya. Fokus utama Shalahuddin adalah mendapatkan kredibilitas bahwa dirinya adalah penerus Nuruddin.

Dekade pertama kekuasaannya dihabiskan untuk menaklukkan kekuatan Muslim dengan tujuan untuk mempersatukan Umat Islam dan bersama-sama berjuang melawan dominasi pasukan Salib yang berada di wilayah Arab. Dengan di dudukinya Aleppo, Shalahuddin telah menyatukan Suriah dan Mesir dalam kekuasaannya dan berhasil mengembalikan Baitul Maqdis dalam wilayah kekuasaannya. Perang melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric I Raja Yerusalem, yang kedua melawan Baldwin IV (putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa benteng Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V sehingga kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra, Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.

Shalahuddin Al Ayyubi juga menaruh perhatiannya terhadap pemeliharaan pokok-pokok akidah Islam sesuai dengan madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) dan mengikuti pendekatan madzhad As‟ary. Ia bersungguhsungguh memerangi penyimpangan apapun darinya dan membasmi gejalagejalanya. Dinasti Ayyubiyah telah memperluas penyebaran akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah di Mesir dan segenap penjurunya. Shalahuddin berambisi agar akidahnya mempunyai pengaruh pada berbagai lembaga pemikiran dan pendidikan yang dibangunnya, antara lain :

Upaya keluarga Ayyubiyun dalam membangun berbagai Madrasah ini tidak hanya terbatas di Kairo Saja, tetapi telah diperluas pula ke wilayah lain. Shalahuddin dan keluaraga beserta para pengikutnya melalui berbagai kerja keras telah mampu menarik minat para ulama Sunni yang berbondong-bondong datang ke Mesir dengan tujuan untuk mengeluarkan negeri itu dari keterasingan pemikiran dan memulihkan hubungan erat dengan pusat-pusat kebudayaan Sunni di dunia Islam, seperti Baghdad, Damaskus, dan Cordoba[26].

[1] Alwi Alatas.2014. Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III.Cetakan I. Jakarta.IKAPI .hlm. 40.

[2] Rizem Aizid.2015.Para Panglima Perang Islam.cetakan I. Yogyakarta. Saufa. hlm. 253

[3] Ali Muhammad As-Shalabi.2014. Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis.Cetakan III. Jakarta. Pustaka Al- Kautsar. hlm.296

[4] IAlwi Alatas. 2014. Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III.Cetakan I.  Jakarta. IKAPI .hlm.48)

[8] Lilik Rochmad Nurcholisho. 2010. Shalahuddin Al Ayyubi Pahlawan Hittin dan Pembebas Baitul Maqdis. Cetakan I. Jakarta.Inti Medina (IKAPI).hlm. 9

[10] Muhammad Ali Fakih. 2011. Tokoh-tokoh Perang Salib Paling Fenomenal. Cetakan I. Jogjakarta. Najah Divapress. hlm. 69

[11] Ali Muhammad As-Shalabi.2014. Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis.Cetakan III. Jakarta. Pustaka Al- Kautsar. hlm. 230-231

[12] Alwi Alatas. 2014. Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III.Cetakan I.  Jakarta. IKAPI .hlm.123

[13] Salahudin Sanusi.       1967.   Integrasi   Ummat       Islam.    cetakan         I. Bandung. IQAMATUDDIN. hlm.19

[14] Alwi Alatas. 2014. Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III.Cetakan I.  Jakarta. IKAPI .hlm.127

[15] Lilik Rochmad Nurcholisho. 2010. Shalahuddin Al Ayyubi Pahlawan Hittin dan Pembebas Baitul Maqdis. Cetakan I. Jakarta.Inti Medina (IKAPI).hlm. 32

[17] Ibnu Katsir “Ringkasan Bidayah wa Nihayah”, diakses dari. http://ebooksislam.fuwafuwa.info/_Ibnu Katsir/Ringkasan Al Bidayah Wan Nihayah.pdf,

[18] Ali Muhammad As-Shalabi.2014. Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis.Cetakan III. Jakarta. Pustaka Al- Kautsar. hlm.634

[19] Abdul Latip Talib. 2008. Shalahuddin Al Ayyubi : Sang Penakluk Yerusalem.Cetakan I. Bandung. Madania Prima. hlm. 294

[20] Alwi Alatas. 2014. Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III.Cetakan I.  Jakarta. IKAPI .hlm. 473

[21] Badri Yatim. 2008.  Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.Ed. 1. Jakarta. PT Raja Grafindo hlm. 78

[22] Carole Hillenbrand. 2015. Perang Salib Sudut Pandang Islam. Cetakan I, Jakarta.

PT.Kalola Printing. Hlm 238

[23] Ali Muhammad As-Shalabi.2014. Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis.Cetakan III. Jakarta. Pustaka Al- Kautsar. hlm. 303.

[24] Muhammad Ash-Syayim.2000. Shalahuddin Al Ayyubi Sang Pejuang Islam.Jakarta. Gema Insani.hlm.52

[25] ibid. hlm.344-348

Dalam sejarah hubungan Kristen dan Islam telah terjadi begitu banyak konflik yang didasari oleh beragam kepentingan dari pihak masing-masing. Salah satu konflik tersebut adalah Perang Salib, Perang yang berlangsung selama beberapa periode dalam kurun waktu ratusan tahun silam telah mengakibatkan kerugian besar di antara kedua belah pihak yang berseteru—terkurasnya kekayaan Eropa hingga tingginya angka kematian. Di antara beberapa periode yang berlangsung, Perang Salib III adalah Perang Salib yang paling dahsyat karena melibatkan perseteruan dua tokoh besar dari pihak Kristen dan Islam, yakni Salahuddin Al-Ayyubi dan Richard si hati Singa. Konflik yang berkembang di antara dua tokoh paling hebat dan mengagumkan dalam turnamen mahasuci itu kini masih bergaung dalam sejarah dan politik modern Timur Tengah. Pengaruhnya bahkan lebih luas lagi; meliputi konflik antara Kristen dan Islam di sepenjuru dunia, dari Bosnia, Kosovo, Chechnya, Libanon, Malaysia, hingga Indonesia. Sang penulis, James Reston Jr., melalui penelitiannya mengungkapkan bagaimana sejarah panjang Perang Salib III berlangsung. James juga dengan adil mendeskripsikan bagaimana dua pemimpin besar yang berseteru dalam Perang Salib III berjuang untuk merebut dan mempertahankan Tanah Suci, Yerusalem, di mana dari Kubah Batu—yang darinya, Rasul Muhammad naik ke sidratul muntaha dalam perjalanan malamnya menuju Allah swt. Dan tempat di mana Yesus menghabiskan sebagian hidupnya untuk berdakwah.

Pemberian Grasi Kepada Pihak Musuh

Salahuddin saat menaklukan Jerusalem menampilkan keluhuran Budi kepada pasukan Salib, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan pasukan Salib dahulu saat menaklukan Jerusalem. Salahuddin justru memberikan grasi kepada beberapa orang di antara mereka yang dinilai tidak melakukan penindasan keji terhadap umat Islam.

Pemberian Cuti Kepada para Tentara

Pemberian cuti sangatlah berharga, terlebih lagi seorang tentara juga memerlukan waktu untuk beristirahat demi memperbaharui semangat jiwa dan mempertebal cita-cita meraih kemenangan. Salahuddin menjadikan kesempatan ini untuk mendekatkan diri secara personal serta menyiarkan dakwah kepada mereka.

Kebijaksanaan Salahuddin Al-Ayyubi

Dengan segala kesabaran dan kebijaksanaan dalam perjuangan, Salahuddin Al-Ayyubi mampu mengalahkan pasukan Salib di Medan perang Hathin. Selain itu, ada tiga hal penting dari kebijaksanaan Salahuddin yang menjadikan peperangan yang dipimpinnya memperoleh hasil menakjubkan, yaitu:

Salahuddin Memenangkan Perang Salib

Merangkum buku 55 Tokoh Dunia yang Terkenal dan Paling Berpengaruh Sepanjang Waktu oleh Wulan Mulya Pratiwi, et.al, butuh waktu yang panjang bagi Salahuddin mempersiapkan perang salib. Selain persiapan fisik dan strategi jitu, beliau juga melakukan persiapan secara rohani.

Adapun persiapan lainnya adalah membangun benteng-benteng pertahanan yang kuat, perbatasan-perbatasan yang jelas, membangun markas-markas perang dan menyiapkan kapal-kapal perang terbaik. Persiapan juga dilakukan dengan mendirikan rumah sakit dan menyuplai obat-obatan.

Meskipun Salahuddin sakit keras, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk memperjuangkan tanah Nabi, Jerusalem. Justru semakin kuat tekad Salahuddin untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan kristen.

Perjuangan pertama disebut dengan perang Hathin, atau perang pembuka di mana pasukan Salahuddin pada saat itu berjumlah 63.000 prajurit. Pada perang Hathin, pasukan Salahuddin membunuh 30.000 pasukan salib dan menahan 30.000 pasukan salib.

Perjuangan selanjutnya di kota Al-Quds dan Jerusalem, di mana pasukan Salahuddin banyak yang syahid. Bahkan ketika pasukan Salib memasang salib besar pada batu Shakharkh, hal tersebut membuat pasukan semakin bersemangat dan akhirnya berhasil memenangkan perang salib yang kedua.

Perjalanan Hidup Shalahuddin Al Ayyubi

Karier Shalahuddin Al Ayyubi sebagai tentara dimulai ketika penunjukkan atas dirinya sebagai wakil dari pamannya Asadudin Syirkuh untuk menemaninya menuju Mesir atas perintah dari Nuruddin Mahmud. Nuruddin Mahmud telah mengirimkan bantuan pasukan kepada Mesir yang kala itu sedang terjadi kekacauan di dalam tubuh Dinasti Fatmiyah, karena tindakan para menteri yang berani memutuskan perkara tanpa meminta pendapat dan persetujuan Khalifah, yang mengakibatkan ambisi para tentara Salib untuk mengadakan penyerangan terhadap Mesir agar bisa menguasainya. Berita mengenai kondisi yang dialami Dinasti Fatimiyah terdengar oleh Nuruddin Mahmud dan juga rencana pasukan Salib untuk menguasai Mesir.

Asaduddin Syirkuh yang menjadi panglima dari tentara Nuruddin Zanki yang dikirim ke Mesir untuk membantu Dinasti Fatimiyah atas sengketa jabatan penting (wazir) perdana menteri antara Syawar dan Dirgham[10]. Ketika itu, Shalahuddin mengawal kemanapun pamannya pergi. Shalahuddin mengawali perannya sebagai tentara perang di bawah komando pamannya dalam invasi ke Mesir.

Dirgham yang menjadi lawan politik Syawar, telah menjalin kerja sama dengan pasukan Salib yaitu Amuri I Raja Baitul Maqdis (Yerusalem). Tapi pasukan Syirkuh berhasil menghalau Dirgham-Amuri I hingga terbunuhnya Dirgham. Kemenangan berhasil didapatkan, Syawar telah mendapatkan keinginannya. Setelah keinginan Syawar terpenuhi, dia malah mengingkarinya dan mengusir Syirkuh serta pasukannya dari wilayah Mesir.

Peristiwa yang dialami Syirkuh dan pasukannya, terdengar oleh Nuruddin Mahmud atas penghianatan Syawar terhadap dirinya dan pasukannya. Syawar yang merasa terancam oleh pasukan Nuruddin Mahmud, ia segera menjalin hubungan dengan pasukan salib yang sebelumnya dipihak Dirgham kini berganti berada di pihaknya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh pihak salib, yang akan melindungi Syawar dari pasukan Syirkuh dengan berbagai penebusan atau upeti kepada Pasukan Salib. Sultan Al-„Adhid yang menjadi Khalifah Dinasti Fatimiyah tidak bisa melakukan apa-apa. Dia kemudian menulis surat kepada Nuruddin Mahmud untuk meminta bantuan kepadanya dengan harapan agar memberikan jalan Keluar bagi pemerintahannya.

Permintaan Al Adhid disetujui Nuruddin Mahmud, pada 1167 M Nuruddin Mahmud memerintahkan kepada pasukannya untuk kembali menuju Mesir, guna membantu Khalifah Fatimiyah Al-Adhid dari kekacauan dalam pemerintahannya, komando diberikan kepada Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai pemimpin pasukan Nuruddin.

Mendengar kabar pasukan Syirkuh berangkat menuju Mesir, Syawar dengan sigap langsung menghubungi raja Baitul Maqdis Amuri I untuk segera menghalau laju Syirkuh ke Mesir. Tetapi, mereka (Pasukan salib) kalah cepat dari pasukan Muslim yang lebih dulu mencapai Mesir, dan menetap di Fustat selama 50 hari.[11] Pada akhirnya, kekalahan telah dirasakan oleh kedua pasukan gabungan Syawar-Amuri I pada kali ketiganya dalam konfrontasi melawan pasukan Muslim di Mesir, hingga sebagian wilayah penting di Mesir berada dalam genggaman Nuruddin.

Atas keberhasilannya itu, Syirkuh mendapatkan penghormatan oleh

Khalifah Al-Adhid yang simpati kepadanya. Syawar yang merupakan otak dari semua yang terjadi, telah mendapatkan hukuman mati, karena sebagai penghianat. Kemudian Syirkuh diangkat oleh Al-Adhid sebagai wazir menggantikan Syawar dan diberi gelar ”al Malik al Manshur”. Shalahuddin mendapatkan amanah sebagai pemimpin keamanan wilayah Mesir.

Ini merupakan jabatan pertama bagi Shalahuddin dalam lawatannya mendambakan pengambilalihan Mesir dari orangorang yang telah berkhianat terhadap agama dan negara. Pada 22 maret 1169 M, Syirkuh meninggal dunia, hanya 2 bulan Syirkuh merasakan pencapaian karir terbaiknya selama hidupnya sebagai seorang wazir. Shalahuddin Al Ayyubi ditunjuk langsung oleh Khalifah Al-Adhid untuk menggantikan posisi Syirkuh, Al-Adhid sangat mempercayai Shalahuddin sebagai pengganti Syirkuh mengawal Mesir dari para pemberontak khususnya para petinggi Kekhalifahan Fatimiyah yang tidak setuju dengan pencapaian Shalahuddin Al Ayyubi.

Pada saat menjadi perdana menteri Mesir, usia Shalahuddin Al Ayyubi kurang lebih berusia 30 tahun. Kepercayaan pamannya terhadap keponakannya selama ini menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan dalam kepemimpinan dan militer juga seorang yang dapat diandalkan[12]. Sebetulnya Mesir merupakan wilayah yang selama ini di harapkan oleh Nuruddin Mahmud. Dengan bersatunya Mesir, Damaskus dan Aleppo dijadikan sebagai basis-basis kekuatan Umat Islam untuk mempertahankan integritas wilayah Muslim dan kaum Muslim dari serangan para tentara salib.

Integritas Umat Islam atau wahdatul ummah merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi yang harus dilaksanakan oleh Umat Muslim. Persatuan dan kesatuan kaum Muslimin merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang luhur, lahir dari kesadaran sifat kemanusiaan yang merupakan sebuah pernyataan dari kesadaran keagamaan yang mendalam dan lahir dari ketaatan dan penyerahan yang mutlak kepada Allah swt, sehingga mewujudkan persatuan yang dijalin oleh rasa kasih sayang persaudaraan yang tiada taranya.[13]

Pada tahun 1171 M, Sultan Al-Adhid meninggal dunia, dan berakhirlah keturunan dari Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah. Tidak ada lagi pengganti Khalifah Al Adhid yang berasal dari keturunannya, Shalahuddin Al Ayyubi yang menjabat sebagai perdana menteri naik tahta, pasca kematian Al Adhid. Naiknya Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penguasa Mesir menggantikan Khalifah Fatimiyah Al Adhid, menjadi momen penting dalam misinya untuk menyatukan Umat Islam. Mesir berada dalam genggaman seorang jendral yang sholeh dan tegas. Hubungannya dengan Nuruddin bertambah baik sampai tidak berfikir untuk memisahkan diri dari monopoli kekuasaan, atau memberontak terhadap pemerintahan Nuruddin Mahmud yang sudah terjalin baik dengan keluarganya.

Tahun-tahun pertama yang telah dilewatinya di Mesir, telah mendapatkan tiga tantangan yang akan dihadapi oleh Shalahuddin. Pertama, ancaman pemberontakan dari sisa-sisa pendukung Fatimiyah di Mesir. Kedua, serangan dari orang-orang Frank yang merasa terpukul dengan jatuhnya Mesir ketangan Nuruddin. Ketiga, terjadinya ketegangan antara pihak Shalahuddin dan Nuruddin[14]. Serangan yang pertama dan kedua mampu di tangani oleh Shalahuddin dengan pasukannya, namun permaslahan yang ketiga menjadi permaslahan yang serius ketika di antara keduanya ada pihak yang berusaha untuk mencerai beraikannya. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, kejernihan kembali menyirami kedua pahlawan tersebut. Shalahuddin tetap memiliki loyalitas terhadap Nuruddin sampai Nuruddin meninggal dunia pada tahun 1173 M[15].

Pemerintah Fatimiyah merupakan pemerintahan Syiah Ismailiyah, namun para penduduk Mesir berpegang teguh pada paham Sunni. Shalahuddin tidak bekerja sendiri dalam menumpas sisa para pemberontak golongan Syiah di Mesir, dia ditemani oleh seorang birokrat brilian dari dalam pemerintahan Fatimiyah sendiri, yaitu Abdul Rahim al-Baysani al-Lakhimi al-Asqalani yang dikenal sebagai Qadhi al-Fadl.

Hal-hal yang dilakukan Shalahuddin pada selanjutnya, yaitu melanjutkan kembali misi Nuruddin Mahmud yang ingin menyatukan wilayah-wilayah Islam dalam genggamannya dan mengikatkan diri kepada Khalifah Abbasiyah. Qodhi Al Fadl menjadi menteri sekaligus penasehat bagi kerajaannya. Dalam kekuasaannya, Shalahuddin berhasil menyatukan wilayahwilayah Islam yang mencangkup utara Irak (Kurdistan), Suriah, Yaman, Maroko, dan pesisir pantai Afrika Utara.[16] Pada tahun 1177 M, Shalahuddin Al Ayyubi menikahi seorang janda dari Nuruddin Mahmud yang bernama As-Shitt Khatun Ismatuddin binti Mu‟inuddin Unur.[17]

Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimyah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya. Keberhasilan tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Dalam mengonsolidasikan kekuatannya, ia memanfaatkan keluarganya untuk melakukan ekspansi kewilayah lain. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman pada tahun 1173M. Taqiyuddin, keponakannya diperintahkan untuk melawan tentara salib di Dimyat. Adapun Syihabuddin, pamannya diberi kekuasaan untuk menduduki salah satu kota di Mesir. Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Negaranegara Muslim. Pada tahun 1174 ia berhasil menguasai Damaskus kemudian Aleppo (tahun 1185) dan  Mousul (pada 1186).

Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab Sunni. Melihat keberhasilannya itu Khalifah al-Musta‟di dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepada Shalahuddin yaitu al-

Mu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Musta‟di juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Shalahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin Umat Islam dan Kaum Muslimin).

Di bawah kekuasaanya, Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Umat Islam, setelah pada tahun 1099 M, berada dalam kekuasaan pasukan Salib. Pada 10 Feb 1144  M, penyerahan Baitul Maqdis diserahkan oleh Balian of Ibelin dari pasukan Salib karena telah menyepakati perjanjian damai dengan Shalahuddin Al Ayyubi, setelah dilakukan pengepungan oleh Shalahuddin terhadap kota Baitul Maqdis selama 12 hari. Dengan dikuasainya Baitul Maqdis, maka jatuhlah sebagaian besar kota-kota dan wilayah yang masih dalam penguasaan kaum salib. Momen jatuhnya Baitul Maqdis bertepatan dengan malam isra’ mi’raj 27 Rajab 538 H.[18]

Atas hilangnya Baitul Maqdis dari kekuasaan pasukan Salib, pasukan Shalahuddin tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk Kristen Baitul Maqdis (Yerusalem), tidak seperti yang telah dilakukan pasukan Salib pada 1099 M, dalam invasi pertamanya menguasai Baitul Maqdis yang telah membunuh 70.000 penduduk Muslim dari anak-anak hingga dewasa. Kekejaman yang dilakukan oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam, tidak dibalas oleh Umat Islam ketika berhasil mengambil alih Baitul Maqdis. Justru, rakyat Kristen dikawal ketat oleh para tentara Islam ketika keluar dari Baitul Maqdis.

Mendengar keberhasilan Umat Islam telah menguasai Baitul Maqdis, Umat Kristen Eropa merasa terpukul atas hal itu. Mereka sangat kecewa dan merasa khawatir dengan hilangnya tempat Suci mereka. Perang Salib pertama terjadi ketika pasukan Salib telah berhasil menaklukkan Palestina (Baitul Maqdis/Yerusalem) pada 1099 M. Kemudian yang kedua kalinya terjadi di Hittin pada 1187 M, yang dimenangkan oleh Shalahuddin dan berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kekalahan pasukan Salib telah menggemparkan dunia Kristen Eropa dalam misi yang ketiga kalinya [19]. Paus Clement III yang menjadi promotor atas invasi pasukan Salib selanjutnya dengan misi balas dendam untuk merebut kembali tanah Suci Yerusalem dari Umat Islam.

Shalahuddin sudah mengatahui akan adanya invasi pasukan salib untuk merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Umat Islam. Pada 1189 M, pasukan Salib Eropa telah sampai di wilayah Acre, wilayah yang berada di daerah Pesisir Yerusalem. Perjalanan yang di lalui oleh tentara Salib menuju Yerusalem melalui jalan laut. Tujuan kali ini untuk terlebih dulu menguasai wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pesisir laut. Karena dirasa sangat memungkinkan untuk mendapatkan kemenangan bagi pasukan Salib Eropa jika wilayah yang berada di pesisir berhasil dikuasai.

Acre, Ascalon hingga Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi target utama dalam misi ketiga ini. Acre berhasil dikuasai oleh Pasukan Salib Eropa (ke-III) setelah melakukan pengepungan terhadap wilayah Acre, kemudian selanjutnya adalah wilayah perairan Ascalon, tapi sebelum menguasai Ascalon kedua belah pihak lebih dulu melakukan gencatan sejata. Karena perselisihan di antara raja Eropa yang berkenaan dengan status tahta Kerajaan Yerusalem jika Yerusalem berhasil dikuasai kembali oleh pasukan Salib.

Banyaknya korban serta berbagai kesusahan yang mereka hadapi menjadikan masing-masing pihak bersikap lebih realistis. Diplomasi dan upaya perdamaian mulai berlangsung lebih sering. Dan pada akhirnya, dari pihak pasukan salib mengirim surat kepada Shalahuddin Al Ayyubi untuk melakukan perdamaian pada hari selasa 1 september 1192 M untuk gencatan senjata selama 3 tahun bagi kedua belah pihak.[20] Pada perjanjian antara Shalahuddin dan Richard (Raja Inggris) menyepakati perjanjian damai yang disebut dengan Shulh al-

Ramlah, yang isinya disebutkan bahwa “orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak di akan ganggu, dan Baitul Maqdis tetap menjadi milik Kaum Muslim”.[21]

Dengan demikian, berakhirlah Perang Salib III. Setelahnya, orang-orang Kristen Eropa dengan bebas keluar masuk Baitul Maqdis untuk melaksanakan ziarah. Pada 1193 M, Shalahuddin Al Ayyubi wafat. Wilayah-wilayahnya diperintah oleh anggota keluarganya sendiri, kemudian yang dikenal dengan Dinasti Ayyubiyah.[22] Shalahuddin Al Ayyubi wafat setelah menyelesaikan semua misinya dengan sempurna. Umat Islam tenggelam dalam duka yang mendalam. Shalahuddin Al Ayyubi tidak meninggalkan sedikit pun harta kekayaan (warisan), hanya sehelai kain kafan dan nama baik dirinya dan Umat Islam.